Rabu, 01 Juli 2015

PROSES PENYEMBUHAN LUKA DITINJAU DARI RESPON SELLULER DAN VASKULER

Deskripsi Luka
Luka adalah rusaknya kesatuan/komponen jaringan, dimana secara spesifik terdapat substansi jaringan yang rusak atau hilang. Berdasarkan kedalaman dan luasnya, luka dapat dibagi menjadi:
Luka superfisial : Yaitu luka yang terbatas pada lapisan dermis.
Luka partial thicknes : Yaitu luka yang disertai hilangnya jaringan kulit pada lapisan epidermis dan lapisan bagian atas dermis.
Luka full thickness : Yaitu luka yang ditandai dengan Kehilangan jaringan kulit pada lapisan epidermis, dermis, dan fasia, akan tetapi tidak mengenai otot.
Luka mengenai otot, tendon dan tulang.
Menurut Baxter, (1990) Luka juga dapat diartikan terjadinya suatu gangguan dari kondisi normal pada kulit dimana terjadinya kerusakan kontinyuitas kulit, mukosa membran dan tulang atau organ tubuh lain. Ketika luka timbul, beberapa efek akan muncul antara lain:
1) Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ
2) Respon stres simpatis
3) Perdarahan dan pembekuan darah
4) Kontaminasi bakteri
5) Kematian sel

Gbr. 1. Gambar Skematis Kulit Dan Bagian-bagiannya. (Zachary,1990)

Terminologi luka yang dihubungkan dengan waktu penyembuhan dapat dibagi menjadi: Luka akut, yaitu luka dengan masa penyembuhan sesuai dengan konsep penyembuhan yang telah disepakati. Sedangkan luka kornis yaitu luka yang mengalami kegagalan dalam proses penyembuhan, dapat karena faktor eksogen atau endogen.
Penyembuhan luka merupakan suatu proses yang kompleks karena berbagai kegiatan bioseluler, biokimia yang terjadi secara berkisanambungan. Penggabungan respons vaskuler, aktivitas seluler dan terbentuknya bahan kimia sebagai substansi mediator di daerah luka merupakan komponen yang saling terkait pada proses penyembuhan luka. Besarnya perbedaan mengenai dasar mekanisme penyembuhan luka dan aplikasi klinik saat ini telah dapat diperkecil dengan pemahaman dan penelitian yang berhubungan dengan proses penyembuhan luka dan pemakaian bahan pengobatan yang telah berhasil memberikan kesembuhan pada luka.
Setiap kejadian luka, mekanisme tubuh akan mengupayakan mengembalikan komponen-komponen jaringan yang rusak tersebut dengan membentuk struktur baru dan fungsional sama atau mendekati sama dengan keadaan sebelumnya. Proses penyembuhan tidak hanya terbatas pada proses regenerasi yang bersifat lokal, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh faktor endogen (seperti: umur, nutrisi, imunologi, pemakaian obat-obatan, kondisi metabolik), (Kaplan and Hentz, 1992).
Pada dasarnya proses penyembuhan ditandai dengan terjadinya proses pemecahan atau katabolik dan proses pembentukan atau anabolik. Dari beberapa hasil penelitian dapat diketahui bahwa proses anabolik telah dimulai sesaat setelah terjadi perlukaan dan akan terus berlanjut pada keadaan dimana dominasi proses katabolisme selesai. Setiap proses penyembuhan luka akan terjadi melalui 3 tahapan yang dinamis, saling terkait dan berkesinambungan serta tergantung pada tipe/jenis dan derajat luka. Sehubungan dengan adanya perubahan morfologik, tahapan penyembuhan luka terdiri dari: Fase inflamasi / Eksudasi , Fase proliferasi / granulasi dan Fase maturasi / deferensiasi.

Penyembuhan Luka
Tubuh yang sehat mempunyai kemampuan alami untuk melindungi dan memulihkan dirinya. Peningkatan aliran darah ke daerah yang rusak, membersihkan sel dan benda asing dan perkembangan awal seluler bagian dari proses penyembuhan. Proses penyembuhan terjadi secara normal tanpa bantuan, walaupun beberapa bahan perawatan dapat membantu untuk mendukung proses penyembuhan. Sebagai contoh, melindungi area yang luka bebas dari kotoran dengan menjaga kebersihan membantu untuk meningkatkan penyembuhan jaringan (Morris,1990).
A. Prinsip Penyembuhan Luka
Ada beberapa prinsip dalam penyembuhan luka menurut Morris (1990) yaitu:
Kemampuan tubuh untuk menangani trauma jaringan dipengaruhi oleh luasnya kerusakan dan keadaan umum kesehatan tiap orang, Respon tubuh pada luka lebih efektif jika nutrisi yang tepat tetap dijaga, Respon tubuh secara sistemik pada trauma, Aliran darah ke dan dari jaringan yang luka, Keutuhan kulit dan mukosa membran disiapkan sebagai garis pertama untuk mempertahankan diri dari mikroorganisme, Penyembuhan normal ditingkatkan ketika luka bebas dari benda asing tubuh termasuk bakteri.
B. Fase Penyembuhan Luka
Penyembuhan luka adalah suatu kualitas dari kehidupan jaringan hal ini juga berhubungan dengan regenerasi jaringan. Fase penyembuhan luka digambarkan seperti yang terjadi pada luka pembedahan (Morris,1990). Masih menurut Morris (1990) penyembuhan luka dapat dibagi atas beberapa fase yaitu:
1. Inflamasi
Fase ini terjadi segera setelah luka dan berakhir 3 – 4 hari. Dua proses utama terjadi pada fase ini yaitu hemostasis dan pagositosis. Hemostasis (penghentian perdarahan) akibat fase konstriksi pembuluh darah besar di daerah luka, retraksi pembuluh darah, endapan fibrin (menghubungkan jaringan) dan pembentukan bekuan darah di daerah luka. Bekuan darah dibentuk oleh platelet yang menyiapkan matrik fibrin yang menjadi kerangka bagi pengambilan sel Scab (keropeng) juga dibentuk dipermukaan luka yang terdiri dar bekuan dan jaringan mati. Scab membantu hemostasis dan mencegah kontaminasi luka oleh mikroorganisme. Dibawah scab epithelial sel berpindah dari luka ke tepi, epitelial sel ini membantu sebagai barier antara tubuh dengan lingkungan dan mencegah masuknya mikroorganisme.
Pada Fase inflamatori juga memerlukan pembuluh darah, dan respon seluler digunakan untuk mengangkat benda-benda asing dan jaringan mati. Suplai darah yang meningkat ke jaringan membawa bahan-bahan dan nutrisi yang diperlukan pada proses penyembuhan yang dapat mengakibatkan luka tampak merah dan sedikit bengkak.

Gbr 2. Proses terjadinya inflamasi pada daerah yang luka (Morris,1990)
Selama sel berpindah lekosit (terutama neutropil) berpindah ke daerah interstitial dan Tempat ini ditempati oleh makrofag yang keluar dari monosit selama lebih kurang 24 jam setelah cidera/luka. Makrofag ini menelan mikroorganisme dan sel debris melalui proses yang disebut pagositosis. Makrofag juga mengeluarkan faktor angiogenesis (AGF) yang merangsang pembentukan ujung epitel diakhir pembuluh darah. Makrofag dan AGF bersama-sama mempercepat proses penyembuhan. Respon inflamatori ini sangat penting bagi proses penyembuhan.
Inflamasi merupakan reaksi protektif vaskular dengan menghantarkan cairan, produk darah dan nutrien ke jaringan interstisial ke daerah cidera. Proses ini menetralisasi dan mengeliminasi patogen atau jaringan mati (nekrotik) dan memulai cara-cara perbaikan jaringa tubuh. Tanda inflamasi termasuk bengkak, kemerahan, panas, nyeri/nyeri tekan, dan hilangnya fungsi bagian tubuh yang terinflamasi.
Bila inflamasi menjadi sistemik akan muncul tanda dan gejala demam, leukositas, malaise, anoreksia, mual, muntah dan pembesaran kelenjar limfe. Respon inflamasi dapat dicetuskan oleh agen fisik, kimiawi atau mikroorganisme. Respon inflamasi termasuk hal berikut ini:
1.1 Respon Seluler Dan Vaskuler
Arteriol yang menyuplai darah yang terinfeksi atau yang cidera berdilatasi, memungkinkan lebih banyak darah masuk dala sirkulasi. Peningkatan darah tersebut menyebabkan kemerahan pada inflamasi. Gejala hangat lokal dihasilkan dari volume darah yang meningkat pada area yang inflamasi. Cidera menyebabkan nekrosis jaringan dan akibatnya tubuh mengeluarkan histamin, bradikinin, prostaglandin dan serotonin. Mediator kimiawi tersebut meningkatkan permeabilitas pembuluh darah kecil. Cairan, protein dan sel memasuki ruang interstisial, akibatnya muncul edema lokal.
Tanda lain inflamasi adalah nyeri. Pembengkakan jaringan yang terinflamasi meningkatkan tekanan pada ujung syaraf yang mengakibatkan nyeri, karena adanya substansi kimia seperti histamin yang menstimuli ujung sel-sel syaraf. Sebagai akibat dari terjadinya perubahan fisiologis dari inflamasi, bagian tubuh yang terkena biasanya mengalami kehilangan fungsi sementara dan akan kembali normal setelah inflamasi berkurang.
1.2 Pembentukan Eksudat Inflamasi
Akumulasi cairan dan jaringan mati serta Sel Darah Putih (SDP) membentuk eksudat pada daerah inflamasi. Eksudat dapat berupa Serosa (jernih seperti plasma), sanguinosa (mengandung sel darah merah) atau purulen (mengandung SDP dan bakteri). Akhirnya eksudat disapu melalui drainase limfatik. Trombosit dan protein plasma seperti fibrinogen membentuk matriks yang berbentuk jala pada tempat inflamasi untuk mencegah penyebaran eksudat. (Oswari E, 1993).
1.3 Perbaikan Jaringan
Sel yang rusak akhirnya digantikan oleh sel baru yang sehat. Sel baru mengalami maturasi bertahap sampai sel tersebut mencapai karakteristik struktur dan bentuk yang sama dengan sel sebelumnya
2. Fase Proliferatif
Fase kedua ini berlangsung dari hari ke-3 atau 4 sampai hari ke-21 setelah pembedahan. Fibroblast (menghubungkan sel-sel jaringan) yang berpindah ke daerah luka mulai 24 jam pertama setelah pembedahan. Fase ini diawali dengan sintesis kolagen dan substansi dasar yang disebut proteoglikan kira-kira 5 hari setelah terjadi luka. Kolagen adalah substansi protein yang menambah tegangan permukaan dari luka. Menurut Oswari E, (1993), jumlah kolagen yang meningkat menambah kekuatan permukaan luka sehingga kecil kemungkinan luka terbuka. Selama waktu itu sebuah lapisan penyembuhan nampak dibawah garis irisan luka. Kapilarisasi tumbuh melintasi luka, meningkatkan aliran darah yang memberikan oksigen dan nutrisi yang diperlukan bagi penyembuhan.

Gbr 3. Proses Proliuferasi Jaringan Luka. (Morris,1990)
Fibroblast berpindah dari pembuluh darah ke luka membawa fibrin. Seiring perkembangan kapilarisasi jaringan perlahan berwarna merah. Jaringan ini disebut granulasi jaringan yang lunak dan mudah pecah.
3. Fase Maturasi
Fase ini dimulai pada minggu ke-3 setelah perlukaan dan berakhir sampai kurang lebih 12 bulan. Tujuan dari fase maturasi adalah menyempurnakan terbentuknya jaringan baru menjadi jaringan penyembuhan yang kuat dan bermutu. Fibroblas sudah mulai meninggalkan jaringan garunalasi, warna kemerahan dari jaringan mulai berkurang karena pembuluh mulai regresi dan serat fibrin dari kolagen bertambah banyak untuk memperkuat jaringan parut. Kekuatan dari jaringan parut akan mencapai puncaknya pada minggu ke-10 setelah perlukaan.

Gbr 4. Proses Maturasi (Diferensiasi) Jaringan Luka. (Morris,1990).
Sintesa kolagen yang telah dimulai sejak fase proliferasi akan dilanjutkan pada fase maturasi. Kecuali pembentukan kolagen juga akan terjadi pemecahan kolagen oleh enzim kolagenase. Kolagen muda ( gelatinous collagen) yang terbentuk pada fase proliferasi akan berubah menjadi kolagen yang lebih matang, yaitu lebih kuat dan struktur yang lebih baik (proses re-modelling).
Untuk mencapai penyembuhan yang optimal diperlukan keseimbangan antara kolagen yang diproduksi dengan yang dipecahkan. Kolagen yang berlebihan akan terjadi penebalan jaringan parut atau hypertrophic scar, sebaliknya produksi yang berkurang akan menurunkan kekuatan jaringan parut dan luka akan selalu terbuka.
Luka dikatakan sembuh jika terjadi kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan ajringan kulit mampu atau tidak mengganggu untuk melakukan aktivitas yang normal. Meskipun proses penyembuhan luka sama bagi setiap penderita, namun outcome atau hasil yang dicapai sangat tergantung dari kondisi biologik masing-masing individu, lokasi serta luasnya luka. Penderita muda dan sehat akan mencapai proses yang cepat dibandingkan dengan kurang gizi, disertai dengan penyakit sistemik (diabetes melitus).



Kesimpulan
Luka adalah terjadinya suatu gangguan dari kondisi normal pada kulit dimana terjadinya kerusakan kontinyuitas kulit, mukosa membran dan tulang atau organ tubuh lain. Berdasarkan waktu penyembuhan dapat dibagi menjadi: Luka akut, yaitu luka dengan masa penyembuhan sesuai dengan konsep penyembuhan yang telah disepakati. Sedangkan luka kornis yaitu luka yang mengalami kegagalan dalam proses penyembuhan, dapat karena faktor eksogen atau endogen.
Penyembuhan luka merupakan suatu proses yang kompleks karena berbagai kegiatan bioseluler, biokimia yang terjadi secara berkisanambungan. Penggabungan respons vaskuler, aktivitas seluler dan terbentuknya bahan kimia sebagai substansi mediator di daerah luka merupakan komponen yang saling terkait pada proses penyembuhan luka.









Daftar Pustaka


Kaplan NE, Hentz VR, 1992., Emergency Management of Skin and Soft Tissue Wounds, AnIllustrated Guide, Little Brown, Boston, USA,.

Zachary CB, 1990., Basic Cutaneous Surgery, A Primer in Technique, Churchill Livingstone,London GB,.

Oswari E, 1993., Bedah dan perawatannya, Gramedia, Jakarta,.


Baxter C, 1990., The normal healing process. In: New Directions in Wound Healing. Wound care manual; February 1990. Princeton, NJ: E.R. Squlbb & Sons, Inc.

Morris PJ and Malt RA, 1995., Oxford Textbook of Surgery. Sec. 1 Wound healing. New York-Oxford-Tokyo Oxford University Press.

Rabu, 29 April 2015

Minggu, 05 April 2015

Rontgen Thoraks

Pemeriksaan radiologi toraks merupakan upaya pengkajiaan untuk tujuan diagnosa gangguan sistem kardiovaskular dan respirasi. Pengenalan kelainan yang penting pada foto thoraks sangat bermanfaat bagi dokter hewan praktisi terutama dalam menghadapi keadaan akut sehingga dokter hewan mampu untuk memberikan interpretasi yang benar maupun tindakan yang tepat. Sarana radiologis adalah semua alat yang menggunakan sinar-X atau pengion lainnya sebagai sarana diagnostik, misalnya pesawat sinar-X dan isotop.

Ada beberapa cara untuk mendapatkan hasil foto rontgen pada bagian thoraks antara lain; bagian dorsal terlihat sampai dengan os costae 6-8, bagian ventral terlihat sampai dengan costae 8-10. Dalam membaca foto rontgen, hal pertama yang perlu diperhatikan adalah densitas atau derajat tebalnya bayangan hitam pada film. Para radiolog menggolongkan adanya empat densitas yaitu: gas atau udara, air, lemak dan logam.



Macam Pemeriksaan :

1. Pemeriksaan Tanpa Kontras

Pemeriksaan ini dipakai rutin dan sebagai pendahuluan yakni pembuatan radiografi thoraks dengan proyeksi dorsoventral, ventrodorsal, dan lateral. Pemeriksaan lainnya yaitu pembuatan radilologi thoraks proyeksi oblique kanan dan kiri, dengan esofagus diisi barium, dan pemeriksaan tembus (fluoroskopi). Pemeriksaan tembus berguna untuk menilai pulsasi jantung dan gerakan diafragma. Pemeriksaan ini harus dibatasi penggunaannya karena besarnya radiasi yang dipancarkan.



2. Pemeriksaan Dengan Kontras

Kontras dimasukkan melalui pembuluh darah ke dalam jantung diikuti pembuatan serial radiografi. Pemeriksaan ini berguna untuk melihat kelainan-kelainan yang terdapat dalam jantung seperti: dinding jantung sebelah dalam, katub jantung dan pembuluh darah besar, serta gambaran sirkulasi jantung dengan paru. Pemeriksaan ini juga berguna untuk memberikan informasi keadaan jantung dan pembuluh darah sebelum dilakukan pembedahan.



Interpretasi Dasar Foto

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan interprestasi foto thoraks yaitu:

1. Identitas: nama, nomor RM, tangal dan jam pembuatan foto, tindakan selanjutnya.

2. Ketajaman sinar, apabila terlalu radiopaque (terlalu terang) atau terlalu gelap (radiolusen), maka foto harus diulang karena akan terjadi salah interprestasi.



Tujuan Pemeriksan Foto Rontgen pada bagian Toraks :

1. Menilai adanya kelainan jantung, misalnya : kelainan letak jantung, pembesaran atrium atau ventrikel, pelebaran dan penyempitan aorta (posisi dorsoventral).

2. Menilai kelainan paru, misalnya edema paru, emfisema paru, tuberkulosis paru (posisi ventrodorsal).

3. Menilai adanya perubahan pada struktur ekstrakardiak.



Macam –macam proyeksi foto toraks

Posisi Ventrodorsal

Posisi pengambilan ini biasanya dilakukan di bagian radilogi. Skapula tidak akan menutupi daerah paru. Besar jantung dapat diperkirakan dengan lebih mudah. Tulang rusuk ventral tidak tampak jelas, sedang rusuk di bagian belakang semuanya menuju ke arah tulang punggung. Pada posisi ini kamera berada di belakang pasien.



Posisi Dorsoventral

Pengambilan foto ini yang paling sering dilakukan pada pasien gawat, misalnya di ruang rawat darurat atau rawat intensif. Cara mengambil pasien ditidurkan dalam posisi 450 dan pemotretan dilakukan saat inspirasi.





Posisi Lateral

Pengambilan posisi lateral tergantung atas indikasi apakah lateral kiri atau lateral kanan. Posisi ini dipakai pada pemeriksaan angiografi (untuk melihat kebocoran septum jantung, aneurisma aorta dan sebagainya).



Penilaian Pembuluh Darah Paru

Hilus adalah tempat arteri pulmonalis, vena pulmonalis, bronkus dan saluran limfe masuk ke dalam paru. Hilus kanan letaknya kira-kira di pertengahan dari jarak apeks paru ke diafragma kanan. Hilus kiri letaknya lebih tinggi sedikit. Dari hilus ini dapat diikuti cabang-cabang dari arteri pulmonalis di dalam paru-paru yang makin kecil ke arah perifer. Vena pulmonalis tidak selalu terlihat pada radiografi polos, kecuali pada mitral stenosis. Pembuluh darah paru di lapangan bawah tampak lebih banyak dari pada lapangan paru atas. Trakea tampak jelas sebagai garis tengah dengan densitas film yang lebih sedikit. Percabangan trakea terdapat pada torkal ke-5.



Perubahan pada Trachea

1. Hypoplastic trachea

2. Tracheal stenosis

3. Collapsed trachea

4. Tracheal tumor

5. Tracheal rupture

6. Bronchial collapse

7. Bronchitis

8. Bronchiectasis

9. Bronchial obstruction



Perubahan pada paru

1. interstitial pneumonia

2. Aspiration pneumonia

3. Broncopneumonia

4. Eosinophilic pneumonia

5. Pulmonary abscess

6. Parasitic pneumonia

7. Mycotic pneumonia (pneumonomycosis)

8. Edema pulmonum

9. Asthma-like disease

10. Pulmonary haemoragica

11. Pulmonary Neoplasia

12. Emphysema pulmonum

13. Atelectatis

14. Lung torsion

15. Chronic obstruktive lung disease

Problem Fiksasi Fraktur Area Epiphysial Os Radius Ulna

Fraktur merupakan suatu diskontinuitas yang abnormal, umumnya disebabkan oleh trauma atau karena adanya kelainan dalam tulang tersebut, sehingga mudah terjadi patah tulang tanpa adanya trauma dari luar (patah tulang patologis). Patah tulang akibat trauma menimbulkan kerusakan jaringan yang disebabkan oleh trauma itu sendiri dan lokalisasi patah umumnya sesuai dengan tempat trauma, sedangkan patah tulang patologis juga menimbulkan kerusakan jaringan yang disebabkan oleh patah tulang, namun lokalisasi trauma dapat tidak sesuai dengan lokalisasi patah.

Dalam menangani fraktur akibat trauma dikenal konsep dasar “4 R” yaitu rekognisi, reduksi, retensi dan rehabilitasi. Rekognisis adalah pengenalan terhadap fraktur melakukan berbagai diagnosa untuk memperoleh informasi sebanyak mungkin tentang fraktur, sehingga diharapkan dapat membantu dalam penanganan fraktur. Reduksi adalah suatu tindakan untuk mengembalikan fragmen-fragmen tulang yang mengalami fraktur semirip mungkin ke keadan semula, sedangkan retensi adalah mempertahankan kondisi reduksi selama masa penyembuhan. Yang terakhir adalah Rehabilitasi yang bertujuan untuk mengembalikan kondisi tulang yang patah ke keadaan normal dan tanpa menggagu proses fiksasi.

Tulang adalah kerangka tubuh serta merupakan pertautan otot serta tendon yang merupakan alat gerak. Tulang juga sebagai alat pelindung dan merupakan tempat sum-sum tulang. Tulang dianggap sebagai gudang garam kalsium yang melalui metabolisme mempertahankan kadar kalsium dalam darah. Exstremitas cranialis terdiri tulang scapula, humerus, radius ulna, tarsal dan metatarsal. Tulang dibagi menjadi beberapa bagian yaitu bagian yaitu epiphysis, physis, apophysis, metaphysis, diaphysis, medulla dan korteks. Epiphysis merupakan bagian paling distal dari tulang itu sendiri. Fraktur pada epiphysial os radius ulna merupakan fraktur yang sangat sulit proses kesembuhannya, karena miskin akan pembuluh darah.

Ada beberapa problem yang menyebabkan fraktur epiphysial os radius ulna sulit untuk sembuh. Os radius ulna merupakan tulang yang miskin pembuluh darah, sehingga vaskularisasi sangat kurang. Daerah epiphysial merupakan daerah distal dari os radius ulna, yang selalu bergerak sehingga dapat menggangu proses fiksasi yang telah dilakukan. Pergerakan yang selalu terjadi menyebabkan kedua fragmen yang patah tidak menyatu dan memperlambat pembentukan kallus. Fiksasi memegang peranan penting dalam pembentukan kallus, karena jika kallus sudah mulai terbentuk namun fiksasi kurang baik menyebabkan kedua fragmen yang patah kembali bergeser (delayed union). Fiksasi ada 2 yaitu fiksasi terbuka dan fiksasi tertutup. Untuk menangani fraktur pada daerah os radius ulna disarankan menggunakan fiksasi terbuka dengan menggukan wire suture (menjahit dengan kawat). Kemudian setelah prosen fiksasi selesai dilakukan pemasangan gips untuk mencegah terjadinya pergerakan yang akan mengganggu proses fiksasi. Gips adalah mineral yang terdapat di dalam tanah dengan formula CaSO4 2H20 dan merupakan batu putih yang banyak terdapat di Indonesia. Bahan ini dibakar sampai 130 °C dan formulanya kehilangan sebagian dari H20 menjadi CaSO4 2H20 dan kemudian di bubuk halus. Bahan ini mempunyai keistimewaan bila dicampur air maka akan kembali mengeras. Bubuk gips tersebut biasanya dicampurkan dalam bahan pembalut, sehingga dapat diletakkan pada bahan pembalut dan direndam supaya siap dipakai baru kemudian akan mengeras. Bagian tubuh yang dibalut gips ini tidak dapat bergerak secara bebas. Kondisi ini sangat baik digunakan pada bagian tubuh yang sedang dalam masa retensi, apalagi pada daerah os radius ulna bagian epiphysial.

Urolithiasis

Pendahuluan



Urolithiasis adalah penyakit yang disebabkan oleh adanya batu (urolith) atau kristal-kristal pada saluran air kencing (tractus urinarius). Batu dan kristal tersebut dapat ditemukan di ginjal, urethra, dan kebanyakan di vesika urinaria (kandung kencing). Adanya batu atau polikristal tersebut dapat membuat iritasi saluran air kencing, akibatnya saluran tersebut rusak, ditemukan darah bersama urin yang dapat menimbulkan rasa sakit. Polikristal ini terdiri dari Kristal organic atau anorganik (90-95%) dan matriks organic (5-10%) dan unsur lain dalam jumlah kecil.

Urolit berbentuk khas, tidak berupa endapan bahan Kristal yang berserakan tetapi berupa kumpulan Kristal yang tersusun teratur dan mempunyai struktur internal yang kompleks. Dalam praktek kasus batu dan kristal tersebut menyebabkan penyumbatan pada saluran air kencing sehingga terjadi retensi urin. Pada irisan melintang urolit sering tampak adanya inti dan lamina. Hal tersebut membuktikan bahwa urin yang menggenangi urolit komposisinya bervariasi dari hari ke hari dan keadaan tersebut merupakan hal yang sangat konseptual dalam mencoba memahami sifat fisik urolit.

Urolit (kalkuli urinaria) terbentuk dalam traktus urinarius baik di dalam pelvis maupun diseluruh bagian traktus urinarius paling bawah. Urolit diberi nama dengan komposisi, letak (nefrolit, renolit, uretrolit, sistolit, kalkuli vesikalis, ureterolit) atau bentuknya (halus, segi, pyramid, berlapis-lapis, mulberry, jackstone, seperti tanduk atau bercabang). Bentuk Kristal yang khas terutama dipengaruhi oleh struktur internal dan lingkungan Kristal terbentuk. Urolithiasis umumnya terjadi pada anjing berumur ± 6 tahun, meskipun anjing berumur beberapa minggu sampai 16 tahun juga dapat menderita urolithiasis.

Urolithiasis dapat ddi diagnose berdasarkan hasil pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan radiologis/USG, sehingga dapat disimpulkan bahwa anjing tersebut menderita urolithiasis. Penanganan urolithiasis dapat dilakukan dengan pembedahan ataupun tanpa pembedahan.





























Urolithiasis



Urolitihiasis merupakan polikristal yangterdiri dari Kristal organic atau anorganik (90-95%) dan matriks organic (5-10%) dan unsur lain dalam jumlah kecil. Urolithiasis pada anjing biasanya menunjukkan susah kencing atau hanya kencing sedikit dan kadang-kadang berdarah. Disamping itu, nafsu makan berkurang atau sama sekali tidak mau makan, lemah, dan muntah. Berdasarkan anamense tersebut, pemeriksaan klinis segera dilakukan dan pemeriksaan dari saluran air kencing sangat diprioritaskan. Pada waktu melakukan pemeriksaan klinis, palpasi daerah abdomen sering terasa adanya pembesaran dari kandung kencing. Setelah pemeriksaan klinis, dilakukan pembuatan foto Rontgen atau pemeriksaan dengan USG bagian abdomen dengan posisi rebah samping (lateral). Ada beberapa faktor lokal yang mempengarui ukuran dan bentuk urolit, antara lain;

1. Jumlah urolit yang ada

2. Urolit selalu bergerak atau terfiksasi

3. Frekuensi urinasi

4. Konfigurasi struktur anatomi dimana urolit tumbuh.

Disamping beberapa faktor tersebut pembentukan urolit juga dapat dipengarui oleh stasis urin urin karena multiplikasi bakteri, trauma pada vesika urinaria, glikosuria akibat diabetes mellitus dan kalkuli yang menyebabkan penyumbatan pada saluran pengaliran urin.

Gambaran Urolit Secara Makroskopis dan Radiografik



1. Urolit strruvit

Urolit struvit ini berbentuk bulat dan persegi, kadang-kadang mengambil bentuk dari bentuk pelvis renalis, ureter, vesika urinaria, uretra dan kadang-kadang juga berlapis-lapis. Urolit struvit ini tersusun dari Mg++, NH4+, fosfat, biasanya bewarna putih, kuning sampai coklat, agak keras dan rapuh, jika digerus akan hancur dan tidak bersifat radiofaque.

2. Urolit urat

Urolit urat berbentuk bulat atau oval, permukaannya halus, tersusun dari NH4­ urat, biasanya kecil, berlapis-lapis konsentris seperti kulit telur, mudah pecah, bewarna kuning kecoklatan sampai kehijauan, bersifat radolousent, tetapi pada anjing bersifat radiopaque.

3. Urolit cystine

Urolit cystine berbentuk bulat atau oval, biasanya kecil, permukaan halus, tersusun dari asam amino cystine, empuk mudah dihancurkan, bewarna krem kekuningan, kuning kehijauan sampai coklat dan bersifat radiolusent.

4. Urolit oksalat

Berbentuk bulat atau oval, tersusun dari kalsium oksalat dan sering mengandung kalsium fosfat, biasanya kecil, sangat keras dan rapuh, bewarna krem sampai coklat, tetapi dapat bewarna hijau kecoklatan karena pigmen empedu dan bersifat radiopaque.

5. Urolit silikat

Tersusun dari silikat, keras, permukaannya kasar dan berspikulum dan bewarna coklat.

6. Kalsium karbonat

Konsistensi yang keras, permukaan halus dan bewarna muda.

Beberapa gambar urolit yang ditemukan pada anjing































Komposisi Mineral dan Matriks



Jenis mineral yang paling umum di jumpai dalam urolit anjing adalah MgNH4 PO4 (struvit). Ammonium asam urat, asam urat, sedangkan kalsium fosfat dan kalsium oksalat jarang ditemukan pada anjing. Sebaliknya urolit yang mengandung kalsium (kalsium oksalat dan kalsium fosfat) paling lazim ditemukan. Meskipun beberapa mineral khusus dapat menjadi unsure predominan dari suatu kalkuli, tetapi kebanyakan kalkuli komposisinya terdiri dari campuran beberapa unsure mineral. Kadang-kadang inti urolit tersusun dari suatu jenis kristal (struvit), tetapi lapisan luarnya tersusun dari Kristal-kristal lain yang berbeda.

Bagian urolit yang tertinggal setelah komponen Kristal dilarutkan dengan bahan pelarut adalah matriks organik. Unsur matriks organik yang diidentifikasikan dari urolit berupa unsure A, tamm horsfall mucoprotein, uromucoid, serum albumin, alfa dan gamma globulin. Matriks organik tersebut berperan dalam mempengaruhi pembentukan urolit melalui beberapa mekanisme sebagai berikut;

1. Sebagai tempat untuk nukleasi yang bersifat heterogen.

2. Sebagai cetakan untuk mengatur dan memodifikasi pertumbuhan Kristal.

3. Sebagai agen pengikat sehingga partikel semen calculus bergabung dan berperan sebagai tempat retensi kristal.

4. Bersifat melindungi koloid yang menghalangi pertumbuhan kalkuli lebih lanjut.

Urolithiasis seharusnya tidak dipahami sebagai penyakit tunggal karena terbentuknya urolit biasanya berkaitan dengan beberapa abnormalitas. Tempat pembentukan urolit yang sering berpindah-pindah dan tidak dapat dideteksi sebelumnya mengidentifikasi bahwa beberapa factor fsiologi dan patologi yang sangat kompleks dan saling berhubungan terlibat dalam pembentukan urolit. Disamping itu ada juga beberapa factor predisposisi terbentuknta urolit pada traktus urianaria antara lain; pH urin, infeksi bakteri, herediter, diet dan urin stasis.

























Patogenesa Pembentukan Urolit



Pembentukan urolit biasanya dipengaruhi oleh adanya nidus Kristal, pH urin dan ada atau tidaknya factor inhibitor kristal dalam urin. Pembentukan urolit meliputi fase awal pembentukan dan fase pertumbuhan. Fase awal dimulai terbentuknya nidus kristal. Pembentukan nidus kristal tersebut tergantung pada pusat nucleus atau matriks (meskipun subtansi matriks protein nonkristal juga dapat berperan sebagai nukleusi) dan supersaturasi urin oleh kristal kalkulogenik. Sedangkan derajad supersaturasi urin dipengaruhi oleh banyaknya kristal yang dieksresikan oleh ginjal dan volume urin. Fase pertumbuhan nidus kristal tergantung pada;

1. Kemampuan untuk tetap bertahan dalam lumen traktus ekskretorius system urinarius.

2. Derajad dan durasi supersaturasi urin yang mengandung kristal baik yang identik atau berbeda dengan kristal yang ada dalam nidus.

3. Sifat fisik nodus kristal, jika suatu kristal mempunyai sifat yang cocok dengan kristal lain, maka beberapa kristal dapat saling menggabungkan diri dan tumbuh menjadi nidus atau kristal lain.

Urolit yang berlangsung lama juga dapat menimbulkan infeksi ascendens yang terjadi pada traktus urinarius bagian bawah dan penyebaran infeksi secara hematogen dari infeksi local ditempat lain. Infeksi descendens juga dapat terjadi pada bagian atas traktus urinarius dan infeksi kelenjar prostate kronis merupakan sumber infeksi.









































Diagnosis Secara Klinis dan Radiografi



Hewan seing kencing, tetapi urin yang keluar hanya sedikit merupakan gejala awal urolit, disamping itu juga ditemukan adanya gejala lain seperti stranguria (miksi sulit dan disertai rasa sakit), palpasi daerah abdomen bagian belakang terasa sakit dan pada keadaan piocystitis (adanya nanah bersama urin) terdapat febris. Disamping pemeriksaan klinis juga harus didukung oleh pemeriksan laboratorium seperti; WBC, RBC, differensial WBC, Hb, urinalisis, uji sendimentasi epitel dan lain-lain yang dianggap perlu.

Untuk menegakkan diagnose dilakukan pemeriksaan radiologis/USG, sehingga dapat disimpulkan bahwa anjing tersebut menderita urolithiasis. Hasil tersebut harus segera diinformasikan kepada klien guna mendapat persetujuan untuk penanganan selanjutnya. Kalkuli pada saluran perkencingan dapat terdiri dari kalsium, fosfat dan oksalat yang merupakan kalkuli yang bersifat radiopaq yang dapat diamati dengan kontras media negative (CO2, O2 dan nitrous oksid), sedangkan urat, xantin dan matriks merupakan kalkuli yang bersifat radiolusent yang membutuhkan kontras media positif untuk mengamatinya. Hal ini terjadi karena nomor atom dari kalkuli tersebut lebih rendah dari nomer atom kontras. Kontras media positif yang sering digunakan adalah tri-iodin, di-iodin dan urogram.

Pasien terlebih dahulu difoto rontgen tanpa kontras media positif, namun jika hasilnya negatif, anjing jantan tersebut dipuasakan ± 24 jam dan diberikan obat pencahar untuk mengosongkan saluran pencernaan. Gunakan kontras media positif (penggunaannya tergantung kontras media) untuk melihat adanya kalkuli. Untuk foto radiografi ginjal, ureter hewan diletakkan ventro-dorsal dan pemotretan dilakukan 5 menit pasca injeksi kontras media, sedangkan vesika urinaria paling baik dipotret 25-30 menit pasca injeksi. Untuk kalkuli pada vesika urinaria, kontras media positif yang digunakan berupa bubur barium juga dapat dimasukkan melalui katerisasi lewat uretra. Setelah bubur barium dimasukkan , tambahkan sedikit udara (double kontras media) melalui spuit. Kemudian balikkan pasien 360°, baru lakukan pemotretan, jika vesika urinaria mengalami gangguan maka bubur barium akan melekat pada mukosa vesika urinaria.

























Penanganan Urolithiasis



Teknik Operasi

Pasien yang telah teranestesi diletakkan pada posisi dorsal recumbency pada meja operasi, daerah operasi didesinfeksi dengan iodium tincture 3 % secara sirkuler. Lakukan pemasangan kateter pada saluran perkencingan yang dimulai dari uretra sampai ke vesika urianaria dan keluarkan urin. Pasang kain drapping pada daerah operasi kecuali daerah yang dilalui pisau operasi. Incisi pertama dilakukan pada kulit sepanjang 4-6 cm pada bagian bawah umbilicalis, preparer antara kulit dan fascia untuk mendapatkan linea alba. Kemudian incisi kedua pada muskulus dan peritoneum. Jika terjadi pendarahan kecil jepit dengan arteri clamp atau diligasi dengan benang plain cutgat.

Setelah rongga peritoneum terbuka, cari vesika urinaria dan keluarkan. Jika vesika urinaria berisi urin, maka terlebih dahulu urin dikeluarkan. Sebaiknya urin dikeluarkan dengan menggunakan katerisasi, namun jika kateter tidak ada maka urin dikeluarkan secara manual dengan cara memijat vesika urinaria atau penyedotan dengan spuit. Setelah vesika urinaria kosong, jepit ujung cranial dan caudal vesika urinaria dengan doyen clamp, baru kemudian dilakukan penyayatan. Jika clamp tidak ada dapat digunakan dua jahitan bantu sebagai pengganti doyen clamp, baru kemudian lakukan penyayatan. Jika indikasi cystotomi untuk pengangkatan sistik kalkuli, maka kalkulinya dikeluarkan baru kemudian vesika urinaria dijahit kembali, namun jika indikasinya terhadap tumor maka tumornya diangkat. Lapisan dalam dari vesica urinaria dijahit dengan benang plain cutgat dengan pola simple continous, sedangkan lapisan luarnya dijahit dengan benang cromic cutgat dengan pola jahitan lambert yang bertujuan untuk mencegah kebocoran. Lakukan penjahitan peritoneum dengan benang cotton dengan pola jahitan simple interrupted dan muskulus dengan fascia dengan benang plain catgut pola jahitan simple continous. Kulit dijahit dengan benang cotton dengan pola jahitan simple interrupted. Bersihkan daerah operasi dan berikan iodium tincture 3 % dan injeksikan penicillin oil kedalam luka tersebut.



Tanpa Operasi

Untuk mengatasi urotroliasis tanpa operasi yaitu dengan pemberian obat-obatan yang dapat merelaksasi muskulus, kemudian dapat digunakan kateter yang diameter lebih, mendorong urolit ke dalam vesika urinaria, memasukkan larutan garam fisiologis ke traktus urinarius.















Daftar Kepustakaan

Anonimous. (2004). Penuntun Praktikum Ilmu Bedah Khusus Dan Radiologi. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas syiah kuala, Banda Aceh.



Anonimous. (2005). Perawatan cystotomi pada anjing kesayangan. www.anjingkita.com.



Archibald, J. (1979). Canine Surgery. American Veterinary Publication. Inc. Santa Barbara, California.



Bishop, M.Y.(1996). The Veterinary Formulary dalam Handbook of Medicines Used in Veterinary Practise. 3rd ed. London. 231.



Brown. M., T. McCarthy dan B. Bennett.(1991).Long Term Anesthesia Using A Continuous Infusion of Guaifenesin, Ketamine and Xylazine in Cats. Laboratory Animal Science.41: 1, 46-50.



Fossum. T.W. (2002). Smal Animal Surgery. 2nd ed. Mosby ST, London.



Hantiningsih. (2000). Diktat Kuliah. Urolit Pada Anjing dan Penangannya Dengan Operasi atau Tanpa Operasi. Bagian Ilmu Bedah dan Radiologi FKH-UGM, Yogyakarta.



Hickman, J dan R.G. Walker. (1980). An Atlas Veterinary Surgery. 2nd ed. John Wright & Son. Ltd, Philadelphia.



Ibrahim, R. (2000). Pengantar Ilmu Bedah Umum Veteriner. Syiah Kuala University Press, Banda Aceh.



Ko, J.C., M. Payton., A.B. Weil., T. Kitao dan T. Haydon. (2007). Comparison of Anesthetic and Cardiorespiratory Effects of Tiletamine-Zolazepam-Butorphanol and Tiletamine-Zolazepam-Butorphanol-Medetomidine in Dogs. Purdue University.West Lafayette, USA. Vet Ther. 8(2): 26-113.



Sisson, S and J.P. Grossman. (1961). Spanchology in The Anatomy of Domestica Animals. 4th. W.B. Souders, London.



Tiley, L. P and F.W.K. Smith. (2000). The 5-Minute Veterinary Consults, Canine and Feline. Lipincoot Williams and Wilkins, Philadhelpia.



Walker, G.R., (1980). An Atlas Of Veterinary Surgery. John Write and Sons LTD.

Minggu, 01 Maret 2015

Problem Fiksasi Fraktur Area Epiphysial Os Radius Ulna

Fraktur merupakan suatu diskontinuitas yang abnormal, umumnya disebabkan oleh trauma atau karena adanya kelainan dalam tulang tersebut, sehingga mudah terjadi patah tulang tanpa adanya trauma dari luar (patah tulang patologis). Patah tulang akibat trauma menimbulkan kerusakan jaringan yang disebabkan oleh trauma itu sendiri dan lokalisasi patah umumnya sesuai dengan tempat trauma, sedangkan patah tulang patologis juga menimbulkan kerusakan jaringan yang disebabkan oleh patah tulang, namun lokalisasi trauma dapat tidak sesuai dengan lokalisasi patah.
Dalam menangani fraktur akibat trauma dikenal konsep dasar “4 R” yaitu rekognisi, reduksi, retensi dan rehabilitasi. Rekognisis adalah pengenalan terhadap fraktur melakukan berbagai diagnosa untuk memperoleh informasi sebanyak mungkin tentang fraktur, sehingga diharapkan dapat membantu dalam penanganan fraktur. Reduksi adalah suatu tindakan untuk mengembalikan fragmen-fragmen tulang yang mengalami fraktur semirip mungkin ke keadan semula, sedangkan retensi adalah mempertahankan kondisi reduksi selama masa penyembuhan. Yang terakhir adalah Rehabilitasi yang bertujuan untuk mengembalikan kondisi tulang yang patah ke keadaan normal dan tanpa menggagu proses fiksasi.
Tulang adalah kerangka tubuh serta merupakan pertautan otot serta tendon yang merupakan alat gerak. Tulang juga sebagai alat pelindung dan merupakan tempat sum-sum tulang. Tulang dianggap sebagai gudang garam kalsium yang melalui metabolisme mempertahankan kadar kalsium dalam darah. Exstremitas cranialis terdiri tulang scapula, humerus, radius ulna, tarsal dan metatarsal. Tulang dibagi menjadi beberapa bagian yaitu bagian yaitu epiphysis, physis, apophysis, metaphysis, diaphysis, medulla dan korteks. Epiphysis merupakan bagian paling distal dari tulang itu sendiri. Fraktur pada epiphysial os radius ulna merupakan fraktur yang sangat sulit proses kesembuhannya, karena miskin akan pembuluh darah.
Ada beberapa problem yang menyebabkan fraktur epiphysial os radius ulna sulit untuk sembuh. Os radius ulna merupakan tulang yang miskin pembuluh darah, sehingga vaskularisasi sangat kurang. Daerah epiphysial merupakan daerah distal dari os radius ulna, yang selalu bergerak sehingga dapat menggangu proses fiksasi yang telah dilakukan. Pergerakan yang selalu terjadi menyebabkan kedua fragmen yang patah tidak menyatu dan memperlambat pembentukan kallus. Fiksasi memegang peranan penting dalam pembentukan kallus, karena jika kallus sudah mulai terbentuk namun fiksasi kurang baik menyebabkan kedua fragmen yang patah kembali bergeser (delayed union). Fiksasi ada 2 yaitu fiksasi terbuka dan fiksasi tertutup. Untuk menangani fraktur pada daerah os radius ulna disarankan menggunakan fiksasi terbuka dengan menggukan wire suture (menjahit dengan kawat). Kemudian setelah prosen fiksasi selesai dilakukan pemasangan gips untuk mencegah terjadinya pergerakan yang akan mengganggu proses fiksasi. Gips adalah mineral yang terdapat di dalam tanah dengan formula CaSO4 2H20 dan merupakan batu putih yang banyak terdapat di Indonesia. Bahan ini dibakar sampai 130 °C dan formulanya kehilangan sebagian dari H20 menjadi CaSO4 2H20 dan kemudian di bubuk halus. Bahan ini mempunyai keistimewaan bila dicampur air maka akan kembali mengeras. Bubuk gips tersebut biasanya dicampurkan dalam bahan pembalut, sehingga dapat diletakkan pada bahan pembalut dan direndam supaya siap dipakai baru kemudian akan mengeras. Bagian tubuh yang dibalut gips ini tidak dapat bergerak secara bebas. Kondisi ini sangat baik digunakan pada bagian tubuh yang sedang dalam masa retensi, apalagi pada daerah os radius ulna bagian epiphysial.

Dampak Anestesi Ketamin pada Cesar

Pendahuluan

Usaha yang dilakukan untuk mengurangi dan menghilangkan rasa sakit dengan penggunaan obat-obatan dalam prosedur pembedahan telah dilakukan sejak zaman kuno, namun pembuktian secara ilmiah baru dimulai sekitar tahun 1846 oleh William Green Morton di Boston (Boulton dan Blogg, 1994). Penggunaan anestetika dalam operasi pembedahan sering menyebabkan kesulitan-kesulitan yang mengancam jiwa pasien. Ada tiga faktor penting yang harus diamati selama anestesi yaitu: frekuensi denyut jantung, respirasi dan kesadaran, karena apabila ketiga fungsi ini mengalami gangguan berat, maka akan dapat menyebabkan kematian dalam waktu singkat (Wirdjiadmodjo, 2000). Anestetika yang ideal dapat menimbulkan anestesi dengan cepat serta memungkinkan pemulihan dengan segera setelah penanganan (Katzung, 2002).
Obat anestetika yang umum digunakan pada anjing adalah ketamin, akan tetapi obat ini menimbulkan efek yang membahayakan yaitu terjadinya takikardi, hipersalivasi, dapat meningkatkan ketegangan otot, nyeri pada tempat penyuntikan, dan pada dosis yang berlebihan akan menyebabkan pemulihan ke kondisi semula berjalan lamban dan bahkan membahayakan (Jones et al., 1977). Efek samping yang tidak diharapkan dari suatu pembiusan itu dapat diatasi dengan pemberian premedikasi (Hall and Clark, 1983). Premedikasi yang sering dikombinasikan dengan ketamin adalah xylazin (Sektiari dan Wiwik, 2001).
Sectio caesaria atau pembedahan caesar adalah pengeluaran foetus, umumnya pada waktu partus, melalui laparohisteretomi atau pembedahan pada perut dan uterus, Bedah ini dilakukan apabila mutasi, tarik paksa dan foetotomi tidak dapat atau sangat sulit dilakukan untuk mengeluarkan foetus atau peternak menginginkan supaya foetus dikeluarkan dalam kedaan hidup. Ada beberapa organ pada tubuh fetus yang berbeda dengan induk atau hewan dewasa, organ-organ tersebut belum siap untuk menerima pengaruh dari obat anestesi umum ketamin dan xylazin pada operasi sectio caesaria. Perbedaan tersebut meliputi sistem pernafasan, sistem kardiovaskuler, kebutuhan cairan elektrolit-metabolisme dan pengaturan suhu tubuh (Raharjo dkk., 2008).












Tinjauan Kepustakaan

Sectio Caesaria
Sectio caesaria berasal kata latin “Caesaria” yaitu “caeso matris utera” yang berarti memotong uterus induk (Johnston, 1968). Sectio-caesaria atau yang lebih dikenal dengan operasi cesar merupakan tindakan terakhir yang harus diambil oleh seorang dokter hewan untuk menghentikan masa kebuntingan, baik yang disebabkan oleh distokia maupun oleh sebab-sebab yang lain. Dan pada kasus-kasus tertentu operasi cesar merupakan tindakan pertama untuk menyelamatkan induk atau anak ataupun kedua-duanya. Akan tetapi operasi cesar umumnya dilakukan terhadap hewan yang mengalami distokia. Indikasi untuk melakukan operasi cesar bermacam-macam, begitu pula dengan teknik yang akan dilakukan.
Sebelum operasi cesar dilakukan yang terlebih dahulu diperhatikan adalah pemilihal obat anestesi. Pada operasi cesar dapat digunakan anestesi umum dan anestesi local. Ada beberapa hal lain yang berkaitan dengan komplikasi yang akan terjadi pada induk pasca operasi. Komplikasi-komplikasi yang mungkin akan terjadi terhadap induk pasca operasi cesar antara lain: gangguan pada luka operasi, peritonitis, emfisema sub kutaneus, retensi membran fetus, metritis, mastitis, infertilitas, bahkan adanya kemungkinan kematian mendadak pada induk (Jackson, 2004).
Faktor-faktor yang mempengaruhi kesuksesan selama operasi berlangsung atau pasca operasi selain dipengaruhi oleh komplikasi induk juga dipengaruhi oleh tindakan-tindakan dokter hewan selama pelaksanaan operasi cesar dan perawatan pasca operasi. Pemeriksaan terhadap kondisi kesehatan dan fisik induk sebelum dan sesudah operasi cesar akan dapat mengurangi resiko terjadinya komplikasi-komplikasi induk pasca operasi.

Ketamin
Ketamin merupakan suatu anestetika non barbiturat yang sering digunakan dalam terapi bedah pada anjing. Ketamin merupakan zat yang tidak berwarna, stabil pada suhu kamar dan relatif aman (batas keamanan lebar): sifat anelgesiknya sangat kuat untuk sistem somatis, tetapi lemah untuk sistem visceral yang tidak menyebabkan relaksasi otot lurik, bahkan kadang-kadang tonusnya tinggi (Ganiswarna, 1995).
Ketamin (ketanest®) merupakan turunan sikloheksanon, dalam beberapa sifatnya berbeda dengan obat anestetika parenteral lainnya. Turunan sikloheksanon menimbulkan keadaan yang disebut anestesi disosiatif (Mutschler, 1991). Anestesi disosiatif ditandai dengan amnesia dan analgesik tanpa hilangnya kesadaran penuh (Katzung, 2002).
Pemberian ketamin dapat menyebabkan halusinasi, hipersalivasi, hipertensi dan tidak adanya relaksasi otot, namun efek tersebut dapat diatasi dengan pemberian premedikasi (Keller and Bauman, 1978; Hall and Clark, 1983). Brander et al. (1991) menyatakan bahwa dosis ketamin untuk semua hewan kecil melalui injeksi intravena adalah 5-10 mg/ kg bb, sedangkan dosis untuk injeksi intramuskular adalah 10-40 mg/ kg bb.

Xylazin
Xylazin pertama sekali disintesa di Jerman Barat pada tahun enampuluhan oleh Bayer AG, dan dicoba dibawah nama kode Bay-Va 1470 (Holenweger, 1979). Xylazin (Rompun®) adalah anestetika umum yang relatif baru dikenal dalam bidang kedokteran hewan yaitu pada akhir tahun enampuluhan. Anestetika ini memiliki beberapa kelebihan dibanding anestetika generasi sebelumnya, antara lain penggunaannya praktis dan relatif aman. Walaupun xylazin dikatakan hampir memenuhi syarat sebagai anestetika umum yang ideal, namun seperti anestetika lainnya, xylazin juga masih memiliki beberapa kelemahan yang klasik, yaitu efek depresif pada sistem sirkulasi dan respirasi serta mempengaruhi suhu tubuh (Yusuf, 1987).
Xylazin dapat mempengaruhi sistem sirkulasi darah (kardiovaskular) dan sistem pernafasan (respirasi). Xylazin dapat mengakibatkan penurunan denyut jantung (bradikardi), hipertensi selintas yang diikuti oleh hipotensi yang lama, depresi pernafasan dan penurunan suhu tubuh (Lumb and Jones. 1984).



Farmakologi Kombinasi Ketamin-Xylazin
Pelaksanaan pembedahan tidak lepas dari pengaruh anestetika. Tidak jarang dalam suatu pembedahan anestetika yang digunakan lebih dari satu macam bahkan sering dikombinasikan antara anestetika umum dengan obat golongan transqualizer. Pada pelaksanaan bedah anestesiolog harus memilih obat dan prosedur anestesi yang sesuai untuk macam pembedahan dan kondisi pasien, karena efek pemberian anestesi umum menyangkut terganggunya fungsi vital tubuh. Agen anestesi yang sekarang banyak digunakan adalah kombinasi ketamin-xylazin. Anestetika ini mempunyai banyak keuntungan: yaitu ekonomis, mudah dalam pemberian, induksinya cepat begitu juga pemulihannya, mempunyai pengaruh relaksasi otot yang baik dan jarang menimbulkan komplikasi klinis (Benson et al., 1985).
Ketamin-xylazin mempunyai sifat kerja yang berbeda terhadap sistim saraf otonom. Ketamin merupakan obat yang bersifat simpatomimetik yang bekerja menghambat saraf parasimpatis pada sistim saraf pusat dengan neurotransmitter noradrenalin sehingga akan menimbulkan dilatasi pupil, dilatasi bronkiolus dan vasokonstriksi pembuluh darah. Xylazin merupakan obat parasimpatomimetik yang bekerja menghambat saraf simpatis dengan reseptor muskarinik (Katzung, 2002). Reseptor muskarinik xylazin akan menekan sistim saraf pusat, sehingga menimbulkan efek sedatif hipnotik (Ko et al., 1995).


Efek terhadap Anak
Hampir semua obat anestesi umum dapat berfek yang tidak baik bagi anak anjing yang masih berumur dibawah 2 bulan. Berbagai organ pada tubuh pada anak anjing yang berumur dibawah 2 bulan belum siap untuk menerima efek farmakodinamik dari obat anestesi yang diberikan. Ketamin merupakan salah satu obat anestsei umum yang sering digunakan untuk pembiusan sebelum melakukan operasi, sedangkan xylazin merupakan golongan transqualizer yang sering dikombinasikan dengan ketamin. Hampir semua obat anestesi umum dapat menembus sawar otak dan plasenta fetus (Jackson, 2004). Ketamin dapat menembus sawar otak dan plasenta, sehingga dapat menimbulkan kematian setelah partus pada anak yang lahir (Ganiswarna, 1995). Absorbsi ketamin pasca penyuntikan menyebabkan obat tesebut mempengaruhi sistem saraf pusat induk dan menimbulkan efek bagi anak lewat plasenta. Ketamin dapat menyebabkan gangguan saluran pernafasan dan sistem sirkulasi pada anak yang baru lahir, sehingga dapat mendorong terjadinya kematian bagi anak. Ketamin selain dieksresikan melalui ginjal juga dapat dikeluarkan melalui air susu yang diminum oleh anak (Katzung, 2002).
Dalam penggunaannya sebagai anestesi pada operasi cesar, xylazin lebih sering dikombinasikan dengan procain sebagai anestesi epidural (Caulkett et al., 1993). Pemberian xylazin juga dapat menurunkan denyut jantung, depresi saluran pencernaan dan penurunan suhu tubuh. Pada Operasi cesar pada kambing xylazin dapat diberikan dengan dosis 0,07 mg/kg berat badan efek baru timbul 30-40 minit pasca injeksi dan analgesik timbul mulai dari costae 12 ke caudal. Xylazin yang diberikan extradural pada kambing dapat menimbulkan analgesik dan operasi cesar dapat dilakukan (Scott and Gessert, 1997).

Efek terhadap Induk
Dalam beberapa kasus melahirkan kadang ada anjing yang harus melewati proses cesar antara lain Buldog. Anakan Bulldog memiliki badan yang lebih besar dibanding kepalanya, kaki bengkang sehingga menyulitkan untuk dilahirkan secara normal. Ditambah dengan indukan Bulldog yang tidak mempunyai leher sehingga nafas pendek menyebabkan anjing Bulldog tidak kuat untuk ngeden. Anjing ras kecil seperti Chihuahua, Pomeranian, Yorkshire ,dll juga sering mengalami operasi cesar karena tidak mempunyai tenaga atau anaknya terlalu besar. Ketamin pada induk dapat meningkatkan tekanan darah, menyebabkan Nystagmus, hipersalivasi, halusinasi, meningkatnya tonus otot dan berkurangnya relaksasi otot (Keller and Bauman, 1978). Xylazin pada induk dapat menimbulkan bradikardi, hipertensi selintas yang diikuti oleh hipotensi yang lama, depresi pernafasan dan penurunan suhu tubuh (Lumb dan Jones. 1984). Ada beberapa dampak lain yang timbul pada induk pasca operasi cesar antara lain;
1. Ganguan Luka Operasi
Ganguan pada luka bekas operasi dapat terjadi dalam beberapa bentuk, antara lain terjadinya infeksi pada luka bekas operasi, jahitan yang terbuka. Jahitan yang terlalu kencang dapat menyebabkan robeknya jaringan pada pinggir luka yang dapat menyebabkan luka menjadi terbuka dan menimbulkan infeksi.Gangguan pada luka biasanya terjadi pada lapisan luar, ini dapat terjadi pada beberapa hari pasca operasi.
Penanganan gangguan luka operasi dapat dilakukan dengan cara pengambilan jaringan yang mengalami infeksi (nekrotik), kemudian luka dicuci dengan menggunakan antiseptik (Jackson, 2004).

2. Peritonitis
Jika terjadi kebocoran pada uterus pada waktu operasi atau pasca operasi cesar, maka cairan uterus akan memasuki rongga peritonium. Akibatnya rongga peritonium akan mengalami infeksi. Infeksi ini biasanya akan terjadi pada hari ketiga pasca operasi. Hewan yang mengalami peritonitis akan menunjukkan gejala lesu, nafsu makan menurun bahkan hilang dan juga kelihatan nyeri apabila bagian abdomen diraba.
Penanganan pada kasus ini dapat dilakukan dengan terapi antibiotika, dan anti inflamasi. Pada kasus yang berat kadang-kadang dapat melibatkan ovarium yang dapat menyebabkan infertilitas (Jackson, 2004).

3. Pembentukan Seroma
Pembentukan kantung yang berisi cairan serosa pada lapisan otot atau di bawah kulit pada daerah bekas operasi cesar merupakan komplikasi yang sering terjadi pada hewan terutama pada sapi. Pada daerah tempat terbentuknya seroma kelihatan membesar, dengan pemeriksaan ultrasonografi akan ditemukan penumpukan cairan non-purulen yang berwarna jernih pada daerah bekas operasi.
Pada kasus ini biasanya tidak diperlukan penanganan, seroma akan menghilang dengan sendirinya. Akan tetapi jika volume cairan yang terbentuk semakin banyak, maka dapat dikeluarkan melalui hisapan jarum yang steril ataupun pemasangan drainase (Jackson, 2004).

4. Retensi Membran Fetus
Retensio membran fetus terjadi apabila mebran fetus (plasenta) tidak keluar selam 12 jam setelah hewan (sapi) melahirkan ataupun pasca bedah cesar, kasus ini sangat sering terjadi pada kuda. Sedangkan pada anjing sangat jarang terjadi, kadang-kadang sering dicurigai retensio membran fetus pada anjing.
Penanganan retensio membran fetus dapat dilakukan secara pemberian oksitosin atau dengan cara melakukan pengeluaran secara manual, hal ini sangat tergantung pada spesies hewan. Pada kuda bila membran fetus tidak keluar selama 6 jam pasca operasi, maka dapat diberikan oksitosin dengan dosis 10 – 40 IU secara intramuskuler. Bila 12 jam setelah disuntikkan oksitosin plasenta belum juga keluar, maka harus dilakukan pengeluaran secara manual dan perlu dilakukan terapi antibiotika (Jackson, 2004).
5. Metritis
Kejadian metritis pada hewan pasca operasi cesar dapat terjadi akibat pelaksanaan operasi cesar yang tidak asepsis. Akan tetapi umumnya terjadi karena adanya kematian fetus sebelum operasi cesar dilakukan dan isi uterus tidak dibersihkan secara sempurna. Sisa-sisa organ tubuh fetus mati yang ada dalam uterus membusuk sehingga menyebabkan infeksi pada uterus. Kasus ini umumnya terjadi beberapa hari setelah operasi (Jackson, 2004).

6. Infertilitas
Komplikasi pasca operasi cesar berupa infertilitas pada induk sangat jarang terjadi apabila pelaksanaan operasi dilakukan dengan benar. Infertilitas biasanya terjadi akibat komplikasi-komplikasi lain seperti metritis, dan salpingitis.
Untuk mencegah terjadinya infertilitas pada induk, maka sebaiknya pembersihan darah yang keluar pada saat operasi perlu diperhatikan. Dan pemeriksaan rutin terhadap induk pasca operasi cesar perlu dilakukan sampai kira-kira 3 minggu postnatal (Jackson, 2004).






Daftar Pustaka

Benson, G.J., Thurman., W.J. Tranguilli., and C.W. Smit. (1985). Cardiopulmonary Effects of an Intravenous Infusion of Quaifenesin, Ketamine, and Xylazin in Dogs. Am. J. Vet. Res. Vol 49 (9). (1986-1998).
Boulton, T.B and Blogg, C.E. (1994). Anestesiologi. Edisi 10. Diterjemahkan oleh Oswari, J. EGC, Jakarta.

Brander, G.C., D.M Pugh and R.J. Bywater. (1991). Veterinary Applied Pharmacology and Therapeutics. 5th ed. Bailliere Tindal Limited, London.
Caulkett, N., CP. H. Cribb and T. Duke. (1993). Xylazine Epidural Analgesia for Cesarean Section in Cattle. Can Vet Journal Vol. 34. Departement of Veterinary Anestesiology, Radiology and Surgery, Western University.

Ganiswarna, S.G. (1995). Farmakologi dan Terapi. Edisi 4.Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Hall, L.W. and K.W. Clark (1983). Veterinary Anaesthesia. 8th Ed. Bailliere Tindal, London.
Holenwoger. J.A.D. (1979). The anti-emetic effect of combellon after combined administration with Rompun in the dogs. Vet. Med. Rev. 1 (79): 10-13.
Jacson. P,GG., (2004), Hand Book Obstetri Veteriner Edisi II, terjemahan oleh Aris Junaidi, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Johnston, D. R, 1963. History of Human Infertility, Fert and Steril, W.B Saunders Company.
Jones, L.M., N.H. Booth, and L.E. McDonald (1977). Veterinary Pharmacology and Therapeutics. Oxpord and IBH Pub. Co, New Delhi.
Katzung, B.G. (2002). Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi 8. Bagian Farmakologi Kedokteran Universitas Airlangga, Jakarta.
Keller, G.L. and D.H. Bauman.(1978).Ketamine and Xylazine Anaesthesia in Goat. V/M. Sac. 73: 443-444.
Ko, J.C., B.L. Williams., E.R. Rogers., L.S. Pablo., W.C. McCaine dan C.J McGrath.(1995). Increasing xylazine dose-enhanced anesthetic properties of telazol-xylazine combination in Swine. Lab Animal Sci, USA. 45(3):4-290.

Lumb, W.V and Jones, E.W. (1984). Veterinary Anesthesia. Second Edition. Washinton Square, Philadeiphia.
Mutchler, E. (1991). Dinamika Obat. Diterjemahkan oleh Mathhilda, Widodo dan A.S. Ranti. Institut Teknologi Bandung, Bandung.

Raharjo, E., P. Raharjo dan Sulistyono, H. (2008). Ansestesi Untuk Pembedahan Darurat. Bagian Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya.

Scott, P.R and M.E. Gessert. (1997). Evaluation of Extradural Xylazine Injection for Caesarian Operation in Ovine Dystocia Cases. The Veteriner Journal. Departement of Veterinary Clinical Studies, Scotland. 154; 63-67.

Sektiari, B. dan M.Y. Wiwik (2001). Pengaruh Premedikasi Acepromazin Terhadap Tekanan Intraokuler pada Anjing yang di Anestesi dengan Ketamin HCL: Media Kedokteran Hewan. 17(3):120-122.
Wirdiajmodjo, K. (2000). Anestesiologi dan Reminasi, Modul Dasar untuk Pendidikan S.1. Kedokteran. Dirjen Dikti, Jakarta.
Yusuf, I. (1987). Penilaian Pengaruh Xylazin dan Kombinasi Atropin-Xylazin terhadap Denyut Jantung, Kecepatan Pernapasan dan Suhu pada Kucing. Skripsi. Fakultas Kedoktreran Hewan Unsyiah, Banda Aceh.

Pengikut