Minggu, 01 Maret 2015

Dampak Anestesi Ketamin pada Cesar

Pendahuluan

Usaha yang dilakukan untuk mengurangi dan menghilangkan rasa sakit dengan penggunaan obat-obatan dalam prosedur pembedahan telah dilakukan sejak zaman kuno, namun pembuktian secara ilmiah baru dimulai sekitar tahun 1846 oleh William Green Morton di Boston (Boulton dan Blogg, 1994). Penggunaan anestetika dalam operasi pembedahan sering menyebabkan kesulitan-kesulitan yang mengancam jiwa pasien. Ada tiga faktor penting yang harus diamati selama anestesi yaitu: frekuensi denyut jantung, respirasi dan kesadaran, karena apabila ketiga fungsi ini mengalami gangguan berat, maka akan dapat menyebabkan kematian dalam waktu singkat (Wirdjiadmodjo, 2000). Anestetika yang ideal dapat menimbulkan anestesi dengan cepat serta memungkinkan pemulihan dengan segera setelah penanganan (Katzung, 2002).
Obat anestetika yang umum digunakan pada anjing adalah ketamin, akan tetapi obat ini menimbulkan efek yang membahayakan yaitu terjadinya takikardi, hipersalivasi, dapat meningkatkan ketegangan otot, nyeri pada tempat penyuntikan, dan pada dosis yang berlebihan akan menyebabkan pemulihan ke kondisi semula berjalan lamban dan bahkan membahayakan (Jones et al., 1977). Efek samping yang tidak diharapkan dari suatu pembiusan itu dapat diatasi dengan pemberian premedikasi (Hall and Clark, 1983). Premedikasi yang sering dikombinasikan dengan ketamin adalah xylazin (Sektiari dan Wiwik, 2001).
Sectio caesaria atau pembedahan caesar adalah pengeluaran foetus, umumnya pada waktu partus, melalui laparohisteretomi atau pembedahan pada perut dan uterus, Bedah ini dilakukan apabila mutasi, tarik paksa dan foetotomi tidak dapat atau sangat sulit dilakukan untuk mengeluarkan foetus atau peternak menginginkan supaya foetus dikeluarkan dalam kedaan hidup. Ada beberapa organ pada tubuh fetus yang berbeda dengan induk atau hewan dewasa, organ-organ tersebut belum siap untuk menerima pengaruh dari obat anestesi umum ketamin dan xylazin pada operasi sectio caesaria. Perbedaan tersebut meliputi sistem pernafasan, sistem kardiovaskuler, kebutuhan cairan elektrolit-metabolisme dan pengaturan suhu tubuh (Raharjo dkk., 2008).












Tinjauan Kepustakaan

Sectio Caesaria
Sectio caesaria berasal kata latin “Caesaria” yaitu “caeso matris utera” yang berarti memotong uterus induk (Johnston, 1968). Sectio-caesaria atau yang lebih dikenal dengan operasi cesar merupakan tindakan terakhir yang harus diambil oleh seorang dokter hewan untuk menghentikan masa kebuntingan, baik yang disebabkan oleh distokia maupun oleh sebab-sebab yang lain. Dan pada kasus-kasus tertentu operasi cesar merupakan tindakan pertama untuk menyelamatkan induk atau anak ataupun kedua-duanya. Akan tetapi operasi cesar umumnya dilakukan terhadap hewan yang mengalami distokia. Indikasi untuk melakukan operasi cesar bermacam-macam, begitu pula dengan teknik yang akan dilakukan.
Sebelum operasi cesar dilakukan yang terlebih dahulu diperhatikan adalah pemilihal obat anestesi. Pada operasi cesar dapat digunakan anestesi umum dan anestesi local. Ada beberapa hal lain yang berkaitan dengan komplikasi yang akan terjadi pada induk pasca operasi. Komplikasi-komplikasi yang mungkin akan terjadi terhadap induk pasca operasi cesar antara lain: gangguan pada luka operasi, peritonitis, emfisema sub kutaneus, retensi membran fetus, metritis, mastitis, infertilitas, bahkan adanya kemungkinan kematian mendadak pada induk (Jackson, 2004).
Faktor-faktor yang mempengaruhi kesuksesan selama operasi berlangsung atau pasca operasi selain dipengaruhi oleh komplikasi induk juga dipengaruhi oleh tindakan-tindakan dokter hewan selama pelaksanaan operasi cesar dan perawatan pasca operasi. Pemeriksaan terhadap kondisi kesehatan dan fisik induk sebelum dan sesudah operasi cesar akan dapat mengurangi resiko terjadinya komplikasi-komplikasi induk pasca operasi.

Ketamin
Ketamin merupakan suatu anestetika non barbiturat yang sering digunakan dalam terapi bedah pada anjing. Ketamin merupakan zat yang tidak berwarna, stabil pada suhu kamar dan relatif aman (batas keamanan lebar): sifat anelgesiknya sangat kuat untuk sistem somatis, tetapi lemah untuk sistem visceral yang tidak menyebabkan relaksasi otot lurik, bahkan kadang-kadang tonusnya tinggi (Ganiswarna, 1995).
Ketamin (ketanest®) merupakan turunan sikloheksanon, dalam beberapa sifatnya berbeda dengan obat anestetika parenteral lainnya. Turunan sikloheksanon menimbulkan keadaan yang disebut anestesi disosiatif (Mutschler, 1991). Anestesi disosiatif ditandai dengan amnesia dan analgesik tanpa hilangnya kesadaran penuh (Katzung, 2002).
Pemberian ketamin dapat menyebabkan halusinasi, hipersalivasi, hipertensi dan tidak adanya relaksasi otot, namun efek tersebut dapat diatasi dengan pemberian premedikasi (Keller and Bauman, 1978; Hall and Clark, 1983). Brander et al. (1991) menyatakan bahwa dosis ketamin untuk semua hewan kecil melalui injeksi intravena adalah 5-10 mg/ kg bb, sedangkan dosis untuk injeksi intramuskular adalah 10-40 mg/ kg bb.

Xylazin
Xylazin pertama sekali disintesa di Jerman Barat pada tahun enampuluhan oleh Bayer AG, dan dicoba dibawah nama kode Bay-Va 1470 (Holenweger, 1979). Xylazin (Rompun®) adalah anestetika umum yang relatif baru dikenal dalam bidang kedokteran hewan yaitu pada akhir tahun enampuluhan. Anestetika ini memiliki beberapa kelebihan dibanding anestetika generasi sebelumnya, antara lain penggunaannya praktis dan relatif aman. Walaupun xylazin dikatakan hampir memenuhi syarat sebagai anestetika umum yang ideal, namun seperti anestetika lainnya, xylazin juga masih memiliki beberapa kelemahan yang klasik, yaitu efek depresif pada sistem sirkulasi dan respirasi serta mempengaruhi suhu tubuh (Yusuf, 1987).
Xylazin dapat mempengaruhi sistem sirkulasi darah (kardiovaskular) dan sistem pernafasan (respirasi). Xylazin dapat mengakibatkan penurunan denyut jantung (bradikardi), hipertensi selintas yang diikuti oleh hipotensi yang lama, depresi pernafasan dan penurunan suhu tubuh (Lumb and Jones. 1984).



Farmakologi Kombinasi Ketamin-Xylazin
Pelaksanaan pembedahan tidak lepas dari pengaruh anestetika. Tidak jarang dalam suatu pembedahan anestetika yang digunakan lebih dari satu macam bahkan sering dikombinasikan antara anestetika umum dengan obat golongan transqualizer. Pada pelaksanaan bedah anestesiolog harus memilih obat dan prosedur anestesi yang sesuai untuk macam pembedahan dan kondisi pasien, karena efek pemberian anestesi umum menyangkut terganggunya fungsi vital tubuh. Agen anestesi yang sekarang banyak digunakan adalah kombinasi ketamin-xylazin. Anestetika ini mempunyai banyak keuntungan: yaitu ekonomis, mudah dalam pemberian, induksinya cepat begitu juga pemulihannya, mempunyai pengaruh relaksasi otot yang baik dan jarang menimbulkan komplikasi klinis (Benson et al., 1985).
Ketamin-xylazin mempunyai sifat kerja yang berbeda terhadap sistim saraf otonom. Ketamin merupakan obat yang bersifat simpatomimetik yang bekerja menghambat saraf parasimpatis pada sistim saraf pusat dengan neurotransmitter noradrenalin sehingga akan menimbulkan dilatasi pupil, dilatasi bronkiolus dan vasokonstriksi pembuluh darah. Xylazin merupakan obat parasimpatomimetik yang bekerja menghambat saraf simpatis dengan reseptor muskarinik (Katzung, 2002). Reseptor muskarinik xylazin akan menekan sistim saraf pusat, sehingga menimbulkan efek sedatif hipnotik (Ko et al., 1995).


Efek terhadap Anak
Hampir semua obat anestesi umum dapat berfek yang tidak baik bagi anak anjing yang masih berumur dibawah 2 bulan. Berbagai organ pada tubuh pada anak anjing yang berumur dibawah 2 bulan belum siap untuk menerima efek farmakodinamik dari obat anestesi yang diberikan. Ketamin merupakan salah satu obat anestsei umum yang sering digunakan untuk pembiusan sebelum melakukan operasi, sedangkan xylazin merupakan golongan transqualizer yang sering dikombinasikan dengan ketamin. Hampir semua obat anestesi umum dapat menembus sawar otak dan plasenta fetus (Jackson, 2004). Ketamin dapat menembus sawar otak dan plasenta, sehingga dapat menimbulkan kematian setelah partus pada anak yang lahir (Ganiswarna, 1995). Absorbsi ketamin pasca penyuntikan menyebabkan obat tesebut mempengaruhi sistem saraf pusat induk dan menimbulkan efek bagi anak lewat plasenta. Ketamin dapat menyebabkan gangguan saluran pernafasan dan sistem sirkulasi pada anak yang baru lahir, sehingga dapat mendorong terjadinya kematian bagi anak. Ketamin selain dieksresikan melalui ginjal juga dapat dikeluarkan melalui air susu yang diminum oleh anak (Katzung, 2002).
Dalam penggunaannya sebagai anestesi pada operasi cesar, xylazin lebih sering dikombinasikan dengan procain sebagai anestesi epidural (Caulkett et al., 1993). Pemberian xylazin juga dapat menurunkan denyut jantung, depresi saluran pencernaan dan penurunan suhu tubuh. Pada Operasi cesar pada kambing xylazin dapat diberikan dengan dosis 0,07 mg/kg berat badan efek baru timbul 30-40 minit pasca injeksi dan analgesik timbul mulai dari costae 12 ke caudal. Xylazin yang diberikan extradural pada kambing dapat menimbulkan analgesik dan operasi cesar dapat dilakukan (Scott and Gessert, 1997).

Efek terhadap Induk
Dalam beberapa kasus melahirkan kadang ada anjing yang harus melewati proses cesar antara lain Buldog. Anakan Bulldog memiliki badan yang lebih besar dibanding kepalanya, kaki bengkang sehingga menyulitkan untuk dilahirkan secara normal. Ditambah dengan indukan Bulldog yang tidak mempunyai leher sehingga nafas pendek menyebabkan anjing Bulldog tidak kuat untuk ngeden. Anjing ras kecil seperti Chihuahua, Pomeranian, Yorkshire ,dll juga sering mengalami operasi cesar karena tidak mempunyai tenaga atau anaknya terlalu besar. Ketamin pada induk dapat meningkatkan tekanan darah, menyebabkan Nystagmus, hipersalivasi, halusinasi, meningkatnya tonus otot dan berkurangnya relaksasi otot (Keller and Bauman, 1978). Xylazin pada induk dapat menimbulkan bradikardi, hipertensi selintas yang diikuti oleh hipotensi yang lama, depresi pernafasan dan penurunan suhu tubuh (Lumb dan Jones. 1984). Ada beberapa dampak lain yang timbul pada induk pasca operasi cesar antara lain;
1. Ganguan Luka Operasi
Ganguan pada luka bekas operasi dapat terjadi dalam beberapa bentuk, antara lain terjadinya infeksi pada luka bekas operasi, jahitan yang terbuka. Jahitan yang terlalu kencang dapat menyebabkan robeknya jaringan pada pinggir luka yang dapat menyebabkan luka menjadi terbuka dan menimbulkan infeksi.Gangguan pada luka biasanya terjadi pada lapisan luar, ini dapat terjadi pada beberapa hari pasca operasi.
Penanganan gangguan luka operasi dapat dilakukan dengan cara pengambilan jaringan yang mengalami infeksi (nekrotik), kemudian luka dicuci dengan menggunakan antiseptik (Jackson, 2004).

2. Peritonitis
Jika terjadi kebocoran pada uterus pada waktu operasi atau pasca operasi cesar, maka cairan uterus akan memasuki rongga peritonium. Akibatnya rongga peritonium akan mengalami infeksi. Infeksi ini biasanya akan terjadi pada hari ketiga pasca operasi. Hewan yang mengalami peritonitis akan menunjukkan gejala lesu, nafsu makan menurun bahkan hilang dan juga kelihatan nyeri apabila bagian abdomen diraba.
Penanganan pada kasus ini dapat dilakukan dengan terapi antibiotika, dan anti inflamasi. Pada kasus yang berat kadang-kadang dapat melibatkan ovarium yang dapat menyebabkan infertilitas (Jackson, 2004).

3. Pembentukan Seroma
Pembentukan kantung yang berisi cairan serosa pada lapisan otot atau di bawah kulit pada daerah bekas operasi cesar merupakan komplikasi yang sering terjadi pada hewan terutama pada sapi. Pada daerah tempat terbentuknya seroma kelihatan membesar, dengan pemeriksaan ultrasonografi akan ditemukan penumpukan cairan non-purulen yang berwarna jernih pada daerah bekas operasi.
Pada kasus ini biasanya tidak diperlukan penanganan, seroma akan menghilang dengan sendirinya. Akan tetapi jika volume cairan yang terbentuk semakin banyak, maka dapat dikeluarkan melalui hisapan jarum yang steril ataupun pemasangan drainase (Jackson, 2004).

4. Retensi Membran Fetus
Retensio membran fetus terjadi apabila mebran fetus (plasenta) tidak keluar selam 12 jam setelah hewan (sapi) melahirkan ataupun pasca bedah cesar, kasus ini sangat sering terjadi pada kuda. Sedangkan pada anjing sangat jarang terjadi, kadang-kadang sering dicurigai retensio membran fetus pada anjing.
Penanganan retensio membran fetus dapat dilakukan secara pemberian oksitosin atau dengan cara melakukan pengeluaran secara manual, hal ini sangat tergantung pada spesies hewan. Pada kuda bila membran fetus tidak keluar selama 6 jam pasca operasi, maka dapat diberikan oksitosin dengan dosis 10 – 40 IU secara intramuskuler. Bila 12 jam setelah disuntikkan oksitosin plasenta belum juga keluar, maka harus dilakukan pengeluaran secara manual dan perlu dilakukan terapi antibiotika (Jackson, 2004).
5. Metritis
Kejadian metritis pada hewan pasca operasi cesar dapat terjadi akibat pelaksanaan operasi cesar yang tidak asepsis. Akan tetapi umumnya terjadi karena adanya kematian fetus sebelum operasi cesar dilakukan dan isi uterus tidak dibersihkan secara sempurna. Sisa-sisa organ tubuh fetus mati yang ada dalam uterus membusuk sehingga menyebabkan infeksi pada uterus. Kasus ini umumnya terjadi beberapa hari setelah operasi (Jackson, 2004).

6. Infertilitas
Komplikasi pasca operasi cesar berupa infertilitas pada induk sangat jarang terjadi apabila pelaksanaan operasi dilakukan dengan benar. Infertilitas biasanya terjadi akibat komplikasi-komplikasi lain seperti metritis, dan salpingitis.
Untuk mencegah terjadinya infertilitas pada induk, maka sebaiknya pembersihan darah yang keluar pada saat operasi perlu diperhatikan. Dan pemeriksaan rutin terhadap induk pasca operasi cesar perlu dilakukan sampai kira-kira 3 minggu postnatal (Jackson, 2004).






Daftar Pustaka

Benson, G.J., Thurman., W.J. Tranguilli., and C.W. Smit. (1985). Cardiopulmonary Effects of an Intravenous Infusion of Quaifenesin, Ketamine, and Xylazin in Dogs. Am. J. Vet. Res. Vol 49 (9). (1986-1998).
Boulton, T.B and Blogg, C.E. (1994). Anestesiologi. Edisi 10. Diterjemahkan oleh Oswari, J. EGC, Jakarta.

Brander, G.C., D.M Pugh and R.J. Bywater. (1991). Veterinary Applied Pharmacology and Therapeutics. 5th ed. Bailliere Tindal Limited, London.
Caulkett, N., CP. H. Cribb and T. Duke. (1993). Xylazine Epidural Analgesia for Cesarean Section in Cattle. Can Vet Journal Vol. 34. Departement of Veterinary Anestesiology, Radiology and Surgery, Western University.

Ganiswarna, S.G. (1995). Farmakologi dan Terapi. Edisi 4.Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Hall, L.W. and K.W. Clark (1983). Veterinary Anaesthesia. 8th Ed. Bailliere Tindal, London.
Holenwoger. J.A.D. (1979). The anti-emetic effect of combellon after combined administration with Rompun in the dogs. Vet. Med. Rev. 1 (79): 10-13.
Jacson. P,GG., (2004), Hand Book Obstetri Veteriner Edisi II, terjemahan oleh Aris Junaidi, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Johnston, D. R, 1963. History of Human Infertility, Fert and Steril, W.B Saunders Company.
Jones, L.M., N.H. Booth, and L.E. McDonald (1977). Veterinary Pharmacology and Therapeutics. Oxpord and IBH Pub. Co, New Delhi.
Katzung, B.G. (2002). Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi 8. Bagian Farmakologi Kedokteran Universitas Airlangga, Jakarta.
Keller, G.L. and D.H. Bauman.(1978).Ketamine and Xylazine Anaesthesia in Goat. V/M. Sac. 73: 443-444.
Ko, J.C., B.L. Williams., E.R. Rogers., L.S. Pablo., W.C. McCaine dan C.J McGrath.(1995). Increasing xylazine dose-enhanced anesthetic properties of telazol-xylazine combination in Swine. Lab Animal Sci, USA. 45(3):4-290.

Lumb, W.V and Jones, E.W. (1984). Veterinary Anesthesia. Second Edition. Washinton Square, Philadeiphia.
Mutchler, E. (1991). Dinamika Obat. Diterjemahkan oleh Mathhilda, Widodo dan A.S. Ranti. Institut Teknologi Bandung, Bandung.

Raharjo, E., P. Raharjo dan Sulistyono, H. (2008). Ansestesi Untuk Pembedahan Darurat. Bagian Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya.

Scott, P.R and M.E. Gessert. (1997). Evaluation of Extradural Xylazine Injection for Caesarian Operation in Ovine Dystocia Cases. The Veteriner Journal. Departement of Veterinary Clinical Studies, Scotland. 154; 63-67.

Sektiari, B. dan M.Y. Wiwik (2001). Pengaruh Premedikasi Acepromazin Terhadap Tekanan Intraokuler pada Anjing yang di Anestesi dengan Ketamin HCL: Media Kedokteran Hewan. 17(3):120-122.
Wirdiajmodjo, K. (2000). Anestesiologi dan Reminasi, Modul Dasar untuk Pendidikan S.1. Kedokteran. Dirjen Dikti, Jakarta.
Yusuf, I. (1987). Penilaian Pengaruh Xylazin dan Kombinasi Atropin-Xylazin terhadap Denyut Jantung, Kecepatan Pernapasan dan Suhu pada Kucing. Skripsi. Fakultas Kedoktreran Hewan Unsyiah, Banda Aceh.

Pengikut